Kata Cak Nun,
malaikat yang tidak pernah ketawa karena selalu melakukan tugas Tuhan dengan
serius, tetapi begitu di Indonesia para malaikat tersebut tak kuasa menahan
ketawa terpingkal pingkal. Mengapa demikian, mungkin dengan membaca artikel
ini, anda akan sepakat dengan pernyataan Cak Nun.
Dalam kontek
kegiatan usaha hilir gas bumi di Indonesia, yang diketawain oleh malaikat
adalah adalah konsumen gas bumi yang malang benar nasibnya dibandingkan dengan
konsumen di Singapura. Begini ceritanya, perhatikan Gambar-1 berikut:
Kelucuan tersebut di atas, bisa terjadi karena
Pemerintah tidak mengatur harga jual gas di konsumen akhir dan tidak adanya aturan
yang mengedepankan efisiensi dalam pengembangan jaringan pipa.
Sebagai contoh
di atas, masak si untuk mengalirkan gas dari pipa milik Transporter ke konsumen
yang hanya berjarak sekitar 1 km, Pemerintah menciptakan 2 Badan Usaha untuk
melakukannya.
Apalagi dilihat dari harga jual gas, masak si Trader D yang
membangun pipa jauh lebih pendek dan lebih kecil hanya 182 m dibandingkan Trader
C yang membangun 950 m, tetapi selisih harga jaul dan harga beli gas pada
Trader D (USD 2,25/MMBtu) jauh lebih besar dari selisih harga jual dan harga
beli gas pada Trader C (USD 0,50/MMBtu). Sederhananya trader D yang pasang pipa cuma 182 m kok untungnya lebih besar dari trader C yang pasang pipa lebih panjang. Lucu dah.
Mensejahterakan masyarakat saya kira masih menjadi tujuan bernegara. Menciptakan kegiatan usaha yang efisien demi kesejahteraan rakyat seharusnya merupakan prioritas ketimbang menciptakan trader bertingkat tingkat yang menyebabkan bisnis tidak efisien dan membebani rakyat.
Dengan demikian Pemerintah lebih baik mengatur
harga jual gas, sebab itu amanat konstitusi. Nah sekarang kalau di Singapura bagaimana, tentu
penderitaan konsumen sebagaimana diilustrasikan di atas tidak akan bisa terjadi, sebab
pemerintah mengatur tarif, harga dan pengembangan jaringan secara transparan efisien dan jelas.
Disini hanya saya ilustrasikan secara garis besar saja,
bagaimana pemerintah Singapura mengatur pengembangan infrastruktur jaringan gas
bumi. Sedangkan untuk pengaturan tarif atau toll fee aturannya hampir sama
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Badan Pengatur yang mana terukur, transparan dan adil maka tidak perlu lagi di bahas di sini
Dari prosedur di atas, maka tidak mungkin terjadi adanya Trader B, Trader C dan Trader D. Yang mungkin hanya ada Trader A saja, yang dapat menyalurkan gas bumi ke konsumen. Jadi kalau di Singapura gambaran rantai bisnisnya akan menjadi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar-2 berikut.
Harga jual ke konsumen adalah: harga jual Trader sebelumnya, yaitu USD 9,00/MMBtu ditambah Toll Fee sebesar USD 0,22/MMBtu, menjadi USD 9,22/MMBtu. Namun konsumen mengganti biaya investasi untuk koneksasi yang dilakukan transporter (perpanjangan pipa sampai GSIV dan pemasangan GSIV), serta menanggung biaya pemasangan Meter Gas dan pemasangan pipa gas dari GSIV samapai peralatan Konsumen, kalau taksiran saya dengan oipa panjang 1 km dengan diameter 6 inchi dan 2 buah stasium meter paling hanya membutukan investasi sebesar kurang lebih Rp 7 milyar.
Demikian sederhananya pengaturan di Singapura tersebut, dan menciptakan efisiensi dan tidak memungkinkan adanya trader bertingkat. Oleh karenan itu jumlah trader yang ada di Singapura sedikit sekali hanya 2, yaitu: Gas City Gas Pte Ltd dan Sembcorp Gas Pte Ltd, itupun merangkap sebagai pemasok gas sebab mereka adalah importer atau produsen gas.
Kalau di analogikan di Indonesia yang jadi trader ya produsen gas itu sendiri, seperti misalnya PERTAMINA EP. Jadi begitulah pintarnya Pemerintah Singapura dalam mengupayakan efisiensi demi kepentingan rakyatnya.
Dadi ndok Singapura kono, trader iku perusahaan sing dibentuk untuk mewakili para kelompok produsen atau importer gas, dudu perusahaan gak jelas ujug ujug dikongkon dadi trader berderet deret koyok barisan pramuka, yo ancur rek. Sampeyan gak percoyo, deloken table ngisor iki bukti ndok Singapura importer ngrangkep dadi trader/pengecer.
Dengan demikian bila akan dilakukan kebijakan yang baru, mulailah dengan mencari akar permasalahannya. Dari uraian diatas akar permasalahan Pemerintah belum melaksanakan amanat konstitusi yaitu belum mengatur atau menetapkan kewajibannya terkait harga gas bumi sehingga menyebabkan kegiatan usaha hilir gas bumi tidak efisien.
Kewajiban Pemerintah untuk menetapkan Harga Gas Bumi tertuang dalam Pasal 72 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Pertauran Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004, yang berbunyi: Harga BBM dan Gas Bumi diatur dan /atau ditetapkan oleh Pemerintah. Dengan demikia sudah 7 tahun dihitung dari tahun 2009, Pemerintah tidak melaksanakan Pasal 72 PP tersebut.
Rasanya tidak tepat mengeluarkan Peraturan Menteri No 19 Tahun 2009, Tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa, yang dikeluarkan 5 bulan setelah PP No 30 Tahun 2009 dikeluarkan, disana disebutkan pada Pasal 21 ayat 4 dan 5, bahwa harga Gas Bumi ditetapkan oleh Badan Usaha. Berikut bunyi Pasal 21 ayat 4 dan 5 Permen 19:
Apabila harga Gas Bumi tidak oleh Pemerintah, maka perusahan pasti lebih senang membangun pipa dedicated hilir yang leluasa mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin ketimbang membangun pipa open access yang keuntungannya di atur oleh Badan Pengatur. Perhatkan saja beli gas USD 12,25/MMBtu pasang pipa 182 meter jual gas USD 14,50/MMBtu apa ini wajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar