Jumat, 25 September 2015

DI INDONESIA MALAIKAT DAPAT KETAWA, BAGAIMANA KALAU DI SINGAPURA



Kata Cak Nun, malaikat yang tidak pernah ketawa karena selalu melakukan tugas Tuhan dengan serius, tetapi begitu di Indonesia para malaikat tersebut tak kuasa menahan ketawa terpingkal pingkal. Mengapa demikian, mungkin dengan membaca artikel ini, anda akan sepakat dengan pernyataan Cak Nun.
Dalam kontek kegiatan usaha hilir gas bumi di Indonesia, yang diketawain oleh malaikat adalah adalah konsumen gas bumi yang malang benar nasibnya dibandingkan dengan konsumen di Singapura. Begini ceritanya, perhatikan Gambar-1 berikut:

Kelucuan tersebut di atas, bisa terjadi karena Pemerintah tidak mengatur harga jual gas di konsumen akhir dan tidak adanya aturan yang mengedepankan efisiensi dalam pengembangan jaringan pipa.

Sebagai contoh di atas, masak si untuk mengalirkan gas dari pipa milik Transporter ke konsumen yang hanya berjarak sekitar 1 km, Pemerintah menciptakan 2 Badan Usaha untuk melakukannya.

Apalagi dilihat dari harga jual gas, masak si Trader D yang membangun pipa jauh lebih pendek dan lebih kecil hanya 182 m dibandingkan Trader C yang membangun 950 m, tetapi selisih harga jaul dan harga beli gas pada Trader D (USD 2,25/MMBtu) jauh lebih besar dari selisih harga jual dan harga beli gas pada Trader C (USD 0,50/MMBtu). Sederhananya trader D yang pasang pipa cuma 182 m kok untungnya lebih besar dari trader C yang pasang pipa lebih panjang. Lucu dah.

Mensejahterakan masyarakat  saya kira masih menjadi tujuan bernegara. Menciptakan kegiatan usaha yang efisien demi kesejahteraan rakyat seharusnya merupakan prioritas ketimbang menciptakan trader bertingkat tingkat yang menyebabkan bisnis tidak efisien dan membebani rakyat.

Dengan demikian Pemerintah lebih baik mengatur harga jual gas, sebab itu amanat konstitusi.  Nah sekarang kalau di Singapura bagaimana, tentu penderitaan konsumen sebagaimana diilustrasikan di atas tidak akan bisa terjadi, sebab pemerintah mengatur tarif, harga dan pengembangan jaringan secara transparan efisien dan jelas.
Disini hanya saya ilustrasikan secara garis besar saja, bagaimana pemerintah Singapura mengatur pengembangan infrastruktur jaringan gas bumi. Sedangkan untuk pengaturan tarif atau toll fee aturannya hampir sama sebagaimana yang telah dilakukan oleh Badan Pengatur yang mana terukur, transparan dan adil maka tidak perlu lagi di bahas di sini













Dari prosedur di atas, maka tidak mungkin terjadi adanya Trader B, Trader C dan Trader D. Yang mungkin hanya ada Trader A saja, yang dapat menyalurkan gas bumi ke konsumen. Jadi kalau di Singapura gambaran rantai bisnisnya akan menjadi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar-2 berikut.






Harga jual ke konsumen adalah: harga jual Trader sebelumnya, yaitu USD 9,00/MMBtu ditambah Toll Fee sebesar USD 0,22/MMBtu, menjadi USD 9,22/MMBtu. Namun konsumen mengganti biaya investasi untuk koneksasi yang dilakukan transporter (perpanjangan pipa sampai GSIV dan pemasangan GSIV), serta menanggung biaya pemasangan Meter Gas dan pemasangan pipa gas dari GSIV samapai peralatan Konsumen, kalau taksiran saya dengan oipa panjang 1 km dengan diameter 6 inchi dan 2 buah stasium meter paling hanya membutukan investasi sebesar kurang lebih Rp 7 milyar.

Demikian sederhananya pengaturan di Singapura tersebut, dan menciptakan efisiensi dan tidak memungkinkan adanya trader bertingkat. Oleh karenan itu jumlah trader yang ada di Singapura sedikit sekali hanya 2, yaitu: Gas City Gas Pte Ltd dan Sembcorp Gas Pte Ltd, itupun merangkap sebagai pemasok gas sebab mereka adalah importer atau produsen gas.

Kalau di analogikan di Indonesia yang jadi trader ya produsen gas itu sendiri, seperti misalnya PERTAMINA EP.  Jadi begitulah pintarnya Pemerintah Singapura dalam mengupayakan efisiensi demi kepentingan rakyatnya.  

Dadi ndok Singapura kono, trader iku perusahaan sing dibentuk untuk mewakili para kelompok produsen atau importer gas, dudu perusahaan gak jelas ujug ujug dikongkon dadi trader berderet deret koyok barisan pramuka, yo ancur rek. Sampeyan gak percoyo, deloken table ngisor iki bukti ndok Singapura importer ngrangkep dadi trader/pengecer. 



Dengan demikian bila akan dilakukan kebijakan yang baru, mulailah dengan mencari akar permasalahannya. Dari uraian diatas akar permasalahan  Pemerintah belum melaksanakan amanat konstitusi yaitu belum mengatur atau menetapkan kewajibannya terkait harga gas bumi sehingga menyebabkan kegiatan usaha hilir gas bumi tidak efisien.

Kewajiban Pemerintah untuk menetapkan Harga Gas Bumi tertuang dalam Pasal 72 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Pertauran Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004, yang berbunyi: Harga BBM dan Gas Bumi diatur dan /atau ditetapkan oleh Pemerintah. Dengan demikia sudah 7 tahun dihitung dari tahun 2009, Pemerintah tidak melaksanakan Pasal 72 PP tersebut.

Rasanya tidak tepat mengeluarkan Peraturan Menteri No 19 Tahun 2009, Tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa, yang dikeluarkan 5 bulan setelah PP No 30 Tahun 2009 dikeluarkan, disana disebutkan pada Pasal 21 ayat 4 dan 5, bahwa harga Gas Bumi ditetapkan oleh Badan Usaha. Berikut bunyi Pasal 21 ayat 4 dan 5 Permen 19:





Apabila harga Gas Bumi tidak oleh Pemerintah, maka perusahan pasti lebih senang membangun pipa dedicated hilir yang leluasa mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin ketimbang membangun pipa open access yang keuntungannya di atur oleh Badan Pengatur. Perhatkan saja beli gas USD 12,25/MMBtu pasang pipa 182 meter jual gas USD 14,50/MMBtu apa ini wajar



Selasa, 08 September 2015

SIMULASI PENGATURAN KEGIATAN USAHA DISTRIBUSI GAS BUMI


PENGANTAR

Kegiatan usaha distribusi gas bumi saat ini dapat dibilang tidak teratur, dimana jaringan pipa gas bumi tumpeng tindih dan harga gas bumi pada konsumen akhir berbeda-beda walau untuk satu jenis konsumen pada lokasi yang berdekatan.
Meskipun Konstitusi mengamanatkan bahwa harga gas bumi harus ditentukan oleh pemerintah, namun sampai dengan saat ini belum ada aturan pemerintah yang mengatur harga gas tersebut. Alhasil harga menjadi beragam dan tak terkontrol sebab ditentukan sendiri oleh masing-masing perusahaan pemilik jaringan distrubusi gas bumi. Untuk memudahkan analisis, kondisi kegiatan usaha distribusi gas saat ini diilustrasikan melalui Gambar-1.



 Gambar-1: Jaringan gas tumpang tindih dengan harga beragam karena tidak diatur

Pada Gambar-1 di atas, terdapat 3 perusahaan jaringan distribusi gas yaitu Perusahaan A (pipa warna merah), Perusahaan B (pipa warna hitam) dan Perusahaan C (pipa warna biru). Gambar bulatan warna merah adalah konsumnen gas Perusahaan A, bulatan warna hitam adalah konsumen gas Perusahaan B, dan bulatan warna biru adalah konsumen gas Perusahaan C.

Meskipun harga beli gas dari pemasok besarnya sama, masing-masing perusahaan distribusi gas menjualnya dengan harga berbeda. Perusahaan A menjual gas ke konsumen dengan harga USD 9,00/MMBTU, Perusahaan B menjual dengan harga  USD 11,00/MMBTU, dan  Perusahaan C menjual harga USD 10,00/MMBTU
Untuk mengatasi hal tersebut, saya mencoba melakukan simulasi pengaturan melaui langkah-langkah berikut:


PERTAMA MENGATUR IRR (RETURN) PERUSAHAAN JARINGAN GAS
Sebagaimana diketahui secra umum, kegiatan usaha distribusi gas bumi  merupakan kegiatan public utilities, oleh sebab itu sebagaimana lazim dipraktekkan di berbagai negara, keuntungan atau IRR (internal rate of return) dibatasi, yaitu sebesar WACC (weighted average cost of capital) ditambah incentive IRR.
Misalkan masing-masing perusahaan distribusi gas memiliki data investasi, struktur modal, volume gas bumi, dan life time usaha sebagaimana ditunjukkan pada Tabel-1 berikut.

Dengan batas maksimal IRR yang diperbolehkan, dan harga beli gas bumi USD 7,00 / MMBTU selama 12 tahun, maka harga jual gas bumi masing-masing perusahaan distribusi gas dapat dihitung dan hasilnya ditunjukkan pada Tabel-2 berikut

 

Tabel-3 berikut menunjukkan contoh perhitungan harga jual gas bumi pada jaringan distribusi gas milik Perusahaan B.


Dengan demikian kondisi harga gas bumi pada jaringan pipa akibat pembatasan maksimal IRR, menjadi turun seperti diilustrasikan pada gambar Gambar-2 berikut:

Gambar-2: Harga Jual Gas Bumi Setelah Adanya Aturan Pembatasan Maksimal IRR

 
KEDUA PENYERAGAMAN HARGA GAS OLEH BADAN PENGATUR

Setelah Pengaturan  IRR, langkah berikutnya adalah pengaturan penyeragaman harga gas di konsumen oleh Badan Pengatur. Dalam pengaturan ini Badan Pengatur melakukan tugas sebagai berikut:

Didepan pada Tabel-2, telah dihitung harga jual gas keekonomian berdasarkan IRR yang telah ditetapkan Badan Pengatur. Maka tugas Badan Pengatur berikutnya adalah menentukan harga jual gas yang seragam bagi konsumen, dengan metoda weighted average prices of gas, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel-4 berikut.



Berdasarkan perhitungan di atas, maka Badan Pengatur menetapkan harga gas yang seragam bagi konsumen yaitu sebesar USD 10,21 / MMBTU. Konsumen tidak membayar gas langsung kepada perusahaan distribusi gas melainkan dibayarkan kepada Badan Pengatur. Selanjutnya Badan Pengatur melakukan pembayaran kepada perusahaan distribusi gas sesuai dengan harga jual gas keekonomian masing-masing perusahaan.

Sebagai contoh penjualan gas pada jaringan distribusi gas milik Perusahaan A, Jumlah gas yang disalurkan kepada konsumen adalah 50 BBTU/hari, dengan demikian total pembayaran yang ditarik oleh Badan Pengatur pada konsumen di jaringan pipa distribusi gas milik Perusahaan A adalah USD 510.956 (yaitu: 50.000 MMBTU/D x USD 10,21/MMBTU) untuk hari yang bersangkutan. Namun yang dibayarkan oleh Badan Pengatur kepada Perusahaan A tidak sebesar USD 510.956 melainkan hanya sebesar USD 410.511, sebab harga jual gas keekonomian pada Perusahaan A hanya USD 8,21/MMBTU bukan USD 10,21/MMBTU

Dengan demikian di seluruh wilayah jaringan distribusi gas bumi hanya ada satu harga jual gas bumi kepada konsumen yaitu sebesar USD 10,21/MMBTU sebagimana ditunjukkan pada Gambar-3 berikut.




Gambar-3: Harga jual gas bumi yang telah seragam

 KETIGA MENGATUR PENGEMBANGAN JARINGAN

Masing-masing perusahaan distribusi diberi kesempatan mengembangkan jaringan distribusinya, namun harus dipilih yang mana yang paling efisien. Bagaimana cara Badan Pengatur memilihnya, berikut diberikan contoh kasus perkasus.

KASUS PERTAMA
Misalkan ada calon konsumen baru (bulatan kuning) yang lokasinya di TITIK X, TITIK Y dan TITIK Z. Suplai gas untuk calon konsumen baru ini masih berasal dari sumber gas yang sama yaitu Sumber Gas Satu, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar-4. Lalu perusahaan distribusi gas mana yang dipilih untuk mengembangkan jaringan pipa distribusi?. Perhatikan Gambar-4 berikut.

Gambar-4: Lokasi Calon Pelanggan di titik: X, Y dan Z

Pengembangan jaringan untuk menggapai konsumen baru tersebut, tentu akan lebih efisien dilakukan oleh perusahaan distribusi gas yang paling dekat dengan lokasi calon pelanggan baru tersebut. Sehingga Persusahaan A yang layak dipilih mengembangkan jaringan untuk calon konsumen di TITIK X, Perusahaan C untuk calon konsumen di TITIK Y, dan Perusahaan B untuk calon konsumen di TITIK Z.

Namun demikian SKK MIGAS sebagai otoritas hulu juga harus konsisten dalam mengalokasikan gas bumi, yaitu harus dialokasikan atau diberikan kepada perusahaan distribusi gas yang terdekat dengan calon pelanggan baru

Dengan demikian SKK MIGAS harus mengalokasikan gasnya kepada Perusahaan A untuk mensuplai calon konsumen di TITIK X, kepada Perusahaan C untuk mensiuplai konsumen di TITIK Y, dan Perusahaan B untuk mensuplai calon konsumen di TITIK Z.
Berdasarkan 2 pont tersebut di atas, timbul juga 2 pertanyaan, pertama apakah perlu ada lelang ruas pipa pada wilayah jaringan distribusi gas bumi, dan kedua apakah perlu ada Rencana Induk Jaringan Pipa Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN).

Berdasarkan ketentuan pada 2 point di atas, tentu lelang ruas atau jaringan pipa gas menjadi tidak relevan lagi. Kalau agumentasi lelang adalah untuk mendapatkan perusahaan yang bisa menyediakan jasa lebih murah maka dengan mudah terbantahkan apabila Pemerintah telah mengatur harga jual gas di konsumen akhir, sebab perusahaan eksisting yang dipilih tidak mungkin menerapkan jasa yang mahal karena keuntungan mereka telah dibatasi oleh batasan IRR sebagaimana telah didiskusikan pada Bagian 2 didepan.

Demikian juga RIJTDGBN menjadi kurang relevan, sebab secara otomatis pengembangan jaringan pipa akan berjalan dengan sendirinya apabila 2 point ketentuan di atas dilakukan. Jujur, sangt sulit bercerita kongkret tentang manfaat RIJTDGBN

KASUS KEDUA
Misalkan ditemukan gas di lapangan baru katakanlah di Sumber Gas Kedua sebanyak 70 MMscfd (70 BBTU/D). Misalkan SKK MIGAS terlanjur mengalokasikan gas ini kepada Trader N, dan oleh Trader N ini gas bumi dijual kepada calon konsumnen yang lokasinya berada di TITIK Q  sebagaimana ditunjukkan pada Gambar-5 berikut. Lalu bagaimana cara mengaturnya agar tetap menjadi efisien.

  Gambar-5: Lokasi Calon Pelanggan di titik Q, Suplai gas dari Sumber Gas Kedua

 
KEEMPAT MENGATUR ZONA TARIF DISTRIBUSI GAS

Tentu saja jika Trader N ini membangun pipa baru akan menimbulkan inefficiency dan makin menambah tumpang tindihnya jaringan pipa, sebab baik Sumber Gas Kedua maupun Calon Konsumen baru yang terletak titik Q, lokasinya dekat dengan Jaringan Distribusi Gas Milik Perusahaan B

Akan menjadi efisien jika Trader N ini menggunakan jaringan pipa milik Perusahaan B, namun konsekuensinya jaringan pipa distribusi Perusahaan B harus di open access.

Jika memang Perusahaan B diwajibkan untuk open access, maka Badan Pengatur harus menentukan Tarif Pengangkutan yang sifatnya tidak point to point melainkan Tarif Pengangkutan yang bersifat Zona Tarif atau tarif pengangkutan yang berlaku sama diseluruh wilayah jaringan distribusi gas milik Perusahaan B. Point to Point Tarif tidak bisa diterapkan pada jaringan distribusi gassebab akan terjadi arah fisik aliran gas tidak sesuai dengan arah transaksi komersialnya dimana gas yang diterima calon konsumen di titik Q belum tentu bersal dari Sumber Gas Kedua.

Misalkan Jaringan Pipa Distribusi Perusahaan B terdiri dari jaringan pipa distribusi tekanan tinggi, tekanan menengah dan tekanan rendah, tentu tidak semuanya mudah untuk di open access, selain jaringan distribusi tekanan tinggi. Untuk itu maka Badan Pengatur harus menginventarisir capex dan opex jaringan distribusi tekanan tinggi tersebut, untuk digunakan sebagai data perhitungan Zona Tarif pada jaringan pipa distribusi tekanan tinggi tersebut.
Setelah diinventariser misalkan dari capex jaringan distribusi gas tekanan tinggi milik Perusahaan B adalah sebesar USD 4.000 juta dari total capex seluruh jaringan pipa distribusi yaitu sebesar USD 9.000 juta, sebagaimana telah dibahas pada paragrap sebelumnya. Selanjutnya Badan Pengatur memperkirakan dengan baik nilai investasi yang dibutuhkan untuk menyambung pipa baik dari Sumber Gas Kedua dan lokasi calon konsumen di titik Q ke jaringan pipa distribusi milik Perusahaan B. Katakanlah kebutuhan capex untuk membuat sambungan pipa tersebut dan meningkatkan kapasitas pipa adalah sebesar USD 50 juta. Dengan demikian maka dapat dihitung besar Zona Tarif pada jaringan distribusi Perusahaan B yaitu sebesar USD 1,56/MMBTU, yang perhitungannya ditunjukkan pada Tabel-5 berikut.

 
KELIMA MENGATUR HARGA GAS JUAL TRADER

Saat ini Pemerintah tidak mengatur harga jual gas para trader (perusahaan niaga gas tanpa memiliki fasilitas), sehingga para trader dapat menggapai keuntungan sebanyak mungkin meskipun tidak berkonstribusi didalam pembangunan infrastruktur gas bumi. Hal ini tentu kontradiksi dngan perusahaan yang membangun jaringan pipa dimanana Tarif pengangkutan telah diatur noleh BPH Migas. Akibatnya bisa terjadi para perusahaan trader memperoleh margin lebih besar dari pada perusahaan yang membangun infrastruktur. Tentu hal ini tidak adil, selain itu konstitusi mengamanatkan bahwa harga gas harus ditetapkan oleh Pemerintah. Oleh karena itu harga gas jual para trader ke konsumennya harus diatur agar Pemerintah tidak dituduh melanggar konstitusi.

Banyak cara-cara umum yang dapat digunakan untuk mengatur margin perusahaan trader, misalkan berdasarkan prosentase dari harga gas di hulu atau prosentase dari total expenditure yang dikeluarkan oleh perusahaan trader.

Untuk mudahnya kita mengacu kepada peraturan BPH Migas yang digunakan untuk emnghitung Tarif pengangkutan pada fasilitas jaringan pipa yang telah mengalami fully depreciated. Bila mengacu pada peraturan tersebut, maka margin para perusahaan trader dibatasi maksimum 5% dari total biaya expenditure tahunan.


Untuk memahami ini, kita akan membuat contoh dengan mengandaikan misal  harga jual gas dari Sumber Gas  Kedua yang dijual SKK Migas ke Trader adalah sebesar USD 8,00/MMBTU. Maka dengan ketentuan margin Trader sebesar 5% dari total expenditure akan diperoleh harga jual ke consume di titik Q sebesar USD 10,23/MMBTU dan Trader mendapat keuntungan sebesar USD 0,49/MMBTU yang hitungan rincinya dapat dilihat pada Tabel-6 berikut.


Berikut dibuat contoh terdapat 2 trader yang terlibat pada rantai penjualan gas bumi dari Sumber Gas Kedua sampai calon konsumen pada titik Q.

Tabel-7 menjelaskan perhitungan harga gas yang dijual oleh Trader Pertama ke Trader Kedua, dimana diperoleh hasil bahwa harga jual gas dari Trader Pertama ke Trader Kedua adalah sebesar USD 8,13/MMBTU, dan keuntungan yang diperoleh Trader Pertama adalah sebesar USD 0,08/MMBTU

Sedangkan Tabel-8 menjelaskan harga gas yang dijual oleh Trader Kedua kepada calon Konsumen di titik Q, dimana diperoleh hasil bahwa harga gas yang dijuan dari Trader Kedua ke Konsumen adalah sebesar USD 10,23/MMBTU, dan keuntungan yang diperoleh Trader Kedua adalah sebesar USD 0,40/MMBTU

Dapat disimpulkan pula dari perhitungan pada Tabel-6 dan Tabel-8, harga jual gas kepada di Konsumen titik Q besarnya tetap sama yaitu USD 10,23/MMBTU, tidak peduli tradernya satu atau dua.

Pada  saat tradernya hanya satu, keuntungannya trader tersebut USD 0,49/MMBtu (angka ini bias saja 0,48 sebab pembulatan yg tak akurat), sedangkan ketika tradernya menjadi dua (bertingkat) maka trader pertama untung USD 0,08/MMBTU dan trader kedua untung USD 0,40/MMBTU, yang mana kalau di jumlah sama dengan USD 0,48/MMBTU. Jadi asal dibuat aturan sebagaimana dijelaskan di atas, tidak usah pusing-pusing dengan adanya trader bertingfkat, sebab margin totalnya tetap tidak berubah, mau satu trader atau sepuluh trader total marginnya tetap sebesar USDS 0,48/MMBTU. Biarkan saja banyak trader, itung-itung memeratakan dan memperbanyak lapangan pekerjaan.

 
UPDATE JARINGAN GAS SETELAH OPEN ACCESS

Setelah jaringan pipa distribusi gas bumi milik Perusahaan B di open access, kini terdapat 3 buah perusahaan niaga dengan fasilitas (dedicated hilir) dan 1 atau 2 buah perusahaan niaga gas bumi tanpa fasilitas (trader). Oleh karena kondisi wilayah jaringan sebagaimana ditunjukan pada Gambar-3 sebelumnya, kini telah berubah menjadi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar-6 berikut.

 Gambar-6: Update Jaringan Distribusi Gas Bumi Setelah Open Access

Akibat adanya pelanggan dan pemasok baru, maka harga jual gas bumi ke konsumen yang sebelumnya sudah seragam yaitu sebesar USD 10,21/MMBTU, menjadi tidak seragam lagi, sebab konsumen baru di titi Q mendapat harga yang lebih besar walau sedikit yaitu USD 10,23/MMBTU. Untuk itu harga gas di wilayah jaringan distribusi ini harus diseragamkan kembali.

Disamping itu, Perusahan B yang awalnya hanya berniaga dengan fasilitas (dedicated hilir) kini juga menjalankan fungsi sebagai pengangkut gas bumi. Untuk itu sebelum menyeragamkan gas kembali, kita review cash flow dari Perusahaan B yang kini telah menjalankan fungsi sebagai pengangkut dan peniaga gas secara bersamaan, sebab sekarang Perusahaan B ini mempunyai dua sumber pendapatan yaitu pendapatan dari pengangkutan dan pendapatan dari niaga. Untuk itu harga jual gas keekonomian yang dijual oleh Perusahaan B ke konsumen perlu dihitung kembali.
Sebagai tambahan, mengingat bahwa Perusahaan B telah menyediakan pipanya untuk open acces, maka perlu ditambah insentif IRR sebesar 0,25%. Dengan demikian IRR yang sebelumnya ditetapkan oleh Badan Pengatur sebesar 9,75%, kini menjadi 10,00%.
Dari hasil perhitungan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel-9, harga jual keekonomian Perusahaan B yang sebelumnya USD 10,64/MMBTU turun menjadi USD 10,58/MMBTU. Meskipun harga jual keekonomian turun, namun Perusahaan B mendapat tambahan pendapatan sebesar USD 110 juta selama 12 tahun. Sebelum open access pendapatan total selama 12 tahun adalah USD 69.931 juta, setelah open access pendapatan total selama 12 tahun menjadi USD 70.041 juta.



Penyeragaman kembali harga gas bumi tidak akan dibahas rinci lagi mengingat mekanismenya dan cara perhitungannya telah dibahas pada Bagian 3 di depan. Setelah dieragamkan kembali harga jual gas ke konsumen yang sebelumnya USD 10,21/MMBTU kini menjadi USD 10,18/MMBTU, yang mana turun USD 0,03/MMBTU akibat adanya open access. Gambar-7 berikut menunjukkan harga jual gas bumi yang telah diseragamkan kembali.


Gambar-7: Hasil Penyeragaman Kembali Harga Jual Gas Bumi

PIPA BARU YANG TAK TERKAIT SECARA KOMERSIAL DENGAN PIPA EXISTING
Mungkinkah ada pembangunan pipa baru yang tidak terkait secara komersial dengan jaringan existing. Untuk menjawab ini perhatikan calon konsumen baru (BULATAN HIJAU) di titik K, yang mana supali gasnya berasal dari Sumber Gas Kedua sebagaimana ditunjukkan pada Gambar-8 berikut

Gambar-8: Calon Konsumen yang tidak terkait secara komersial dengan jaringan existing



Calon konsumen baru di titik K, sama sekali tak terkait secara komersial dengan jaringan pipa existing, dilihat baik dari lokasi calon pelanggan maupun sumber pasok gasnya. Artinya memungkinkan dibangun oleh perusahaan baru yang mana keekonomiannya akan sama saja bila dibangun oleh Perusahaan A, Perusahaan B maupun Perusahaan C, asal konsep-konsep yang telah disimulasikan paragrap-paragrap sebelumnya dilaksanakan.

Dengan demikian dengan beberapapun jumlah perusahaan jaringan distribusi maupun trader   semuanya biasa diatur menjadi efisien asalkan didukung dengan aturan yang masuk akal yang disusun dengan analisis yang mendalam paling tidak melalui simulasi sebagaimana dijelaskan di atas. 

Berkali-kali tatakelola gas bumi didiskusikan dalam berbagai forum diskusi tapi sampai sekarang belum nampak hasilnya, sebab konsep yang disajikan tidak pernah melallui simulasi yang mendalam.  Maka tidak heran kemudian muncul konsep agregator yang tentu menimbulkan kontroversi, sebab dalam konsep tersebut akan ditunjuk satu perusahan sebagai agregator yang boleh melakukan kegiatan usaha di suatu wilayah tertentu, lalu bagaimana dengan nasib perusahaan lain, terutama para perusahaan swasta yang juga telah berkonstribusi membangun infrastruktur. 

Mengingat bahwa kita masih membutuhkan biaya yang besar untuk mengembangkan jaringan disttribusi gas di seluruh NKRI, tentu peran swasta nasional juga dibutuhkan di samping BUMN maupun perusahana tbk. Untuk itu jangan berpikir terbalik dengan mengamputasi salah satu dari mereka. Kebijakan yang salah baru diketahui salah di masa yang akan datang bukan saat kebijakan tersebut diluncurkan. Pendahulu kita dulu merasa benar dengan mengekspor gas bumi ke luar negeri, dan baru saat ini diketahui bahwa kebijakan tersebut adalah kebijakan yang sangat tidak tepat yang pernah dilakukan oleh pendahulu kita, yang kalau dihitung kerugiaanya bisa mencapai triliunan rupiah. Oleh karena itu mari kita tinggalkan ilmu pokoke diganti dengan ilmu analitis manakala akan merumuskan kebijakan.

Bagi para perumus tata kelola hilir gas bumi, makalah ini sudah aku sampaikan melalui facebook, sms dan wa, tolong dibaca.


Sebenarnya jika Pemerintah punya aturan tentang penetapan harga gas di konsumen akhir sejak dulu, tentu kondisi tidak teratur ini tidak akan separah sekarang, sebab dengan mengatur harga tersebut kondisi akan menjadi lebih teratur sebagaimana telah disimulasikan di depan.

Sebab, kewajiban Pemerintah untuk menetapkan Harga Gas Bumi tertuang dalam Pasal 72 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Pertauran Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004, yang berbunyi: Harga BBM dan Gas Bumi diatur dan /atau ditetapkan oleh Pemerintah. Dengan demikian udah 7 tahun dihitung dari tahun 2009, Pemerintah tidak melaksanakan Pasal 72 PP tersebut.


Malah didalam Peraturan Menteri No 19 Tahun 2009, Tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa, yang dikeluarkan 5 bulan setelah PP No 30 Tahun 2009 dikeluarkan, disebutkan pada Pasal 21 ayat 4 dan 5, bahwa harga Gas Bumi ditetapkan oleh Badan Usaha. Berikut bunyi Pasal 21 ayat 4 dan 5 Permen 19:



Menyimpulkan bahwa ketidak tetaturan ini karena adanya institusi baru yang namanya Badan Pengatur tentu tidak benar, sebab Badan Pengatur justru telah berhasil mengatur tatif pengangkutan gas bumi melalui pipa yang terukur, fair dan transparan. Sedangkan harga gas baik di hulu maupun hilir tidak ada satupun yang transparan.


KESIMPULAN
Dari simulasi pengaturan kegiatan usaha hilir gas bumi sebagaimana telah diutarakan diatas, berikut ini kesimpulannya.














PENUTUP

Apabila penyeragaman harga masih dianggap susah dimengerti. Sebagai langkah awal yang sangat mudah dilakukan adalah: Pemerintah melalui Badan Pengarur atau melalui Pemerintah sendiri segera mengatur harga jual gas bumi di konsumen akhir baik harga gas yang berasal dari perusahaan distribusi dedicated hilir maupun trader. Sebab hal tersebut merupakan amanah konstitusi yang tentunya wajib dilaksanakan. Disamping itu mengatur hal tersebut sangat mudah tinggal membatasi IRR untuk perusahaan dedicated hilir dan pembatasan margin untuk trader sebagaimana telah diulas pada artikel ini.

Namun jika aggregator tetap dipaksakan dengan catatan Badan Pengatur tidak perlu terlibat dalam transaksi keuangan, maka: 

Sebaiknya dibentuk suatu Distribution System Operator (DSO) sebagaimana dilakukan di negara-negara Uni Eropa. DSO adalah suatu perusahaan yang dibentuk oleh ketiga perusahaan distribui A, B dan C dengan komposisi saham sesuai dengan nilai aset masing-masing perusahaan tersebut, atau salah satu dari perusahaan distribusi tersebut bertindak sebagai DSO apabila bisa diterima dan tidak menimbulkan kotroversi. Adapun fungsi DSO adalah mengoperasikan dan mengatur jaringan pipa, menarik tagihan dari pelanggan berdasarkan harga gas yang telah ditentukan oleh Pemerintah atau Badan Pengatur, dan mebagikan pendapatan tersebut kepada masing-masing perusahaan distribusi berdasarkan harga gas keekonomiannya masing-masing.

Sedangkan untuk wilayah baru yang belum ada jaringan pipa gas, maka pada wilayah jaringan baru tersebut baru relevan dibentuk Badan Usaha Penyangga sebagai perusahaan satu-satunya yang boleh melakukan kegiatan usaha di wilayah baru tersebut, dengan tujuan agar pada wilayah jaringan baru tersebut tertata dengan baik menghindari jaringan pipa gas tumpang tindih. Namun demikian harga gas pada wilayah jaringan baru ini tetap harus ditetapkan oleh Pemerintah atau Badan Pengatur, kerena amanat konstitusi.











Selasa, 25 Agustus 2015

PEMANFAATAN DANA BANK (DEBT CAPITAL) UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI KEGIATAN USAHA PENGANGKUTAN GAS BUMI MELALUI PIPA


Efisiensi adalah amanat konstitusi yang yang wajib dilakukan di dalam kegiatan usaha pengangkutan Gas Bumi melalui pipa. Hal ini tertuang dalam konsideran menimbang huruf (e) pada UU No.22 Tahun 2001, yang bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut:

Bahwa dengan tetap mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan tentang pertambangan minyak dan gas bumi yang dapat menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing,  efisien, dan berwawasan pelestarian lingkungan, serta mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional;

Salah satu variabel penting yang mempengaruhi efisiensi pada kegiatan usaha pengangkutan Gas Bumi melalui pipa adalah jumlah Ekuitas pada struktur modal yang digunakan untuk investasi pembangunan jaringan pipa gas bumi.

Struktur modal menurut Kennon (2010) adalah prosentase modal yang ditanamkan pada suatu kegiatan usaha. Terdapat dua jenis, yaitu modal sendiri (equity capital) dan modal pinjaman (debt capital). Alfred (2007) menyatakan bahwa struktur modal perusahaan menyiratkan proporsi hutang (debt) dan ekuitas (equity) dalam struktur modal total perusahaan. Pandey (1999) membedakan antara struktur modal dan struktur keuangan dari suatu perusahaan dengan menegaskan bahwa berbagai upaya yang digunakan untuk meningkatkan dana merepresentasikan struktur keuangan perusahaan, sedangkan struktur modal merupakan hubungan proporsional antara utang jangka panjang (long-term debt) dan ekuitas (equity). Struktur modal dari suatu perusahaan seperti yang dibahas oleh Inanga dan Ajayi (1999) tidak termasuk kredit jangka pendek (short-term credit), tetapi adalah gabungan dari dana jangka panjang perusahaan (long-term funds) yang diperoleh dari berbagai sumber.

Penggunaan Debt Capital dalam struktur modal perusahaan akan menurunkan tingkat IRR (Internal Rate of Return) yang ditargetkan oleh perusahaan sebab Debt Capital adalah jenis pendanaan yang beresiko rendah sehingga imbalan rate return-nya pun rendah. Kebalikan dengan penggunaan Equity Capital, modal ini mempunyai tingkat resiko yang lebih tinggi sehingga imbalan rate-return-nya pun lebih tinggi.

Komisi Reguasi Listrik Amerika Serikat (2011) menyatakan, beberapa sumber pendanaan yang berbeda digunakan untuk modal perusahaan infrastruktur, dan komisi menetapkan tingkat rates of return yang berbeda untuk masing-masing sumber pendanaan (pemegang saham equity dan pemegang obligasi debt).  Pemegang obligasi Debt menerima rate of return yang lebih rendah dari pada pemegang saham Equity, karena pemegang obligasi Debt menanggung risiko yang lebih kecil; mereka memiliki hak pertama mendapatkan pendapatan perusahaan setelah dikurangi biaya operasi, sebelum dividen dibayarkan kepada pemegang saham Equity.  Short-term debt juga umumnya membawa suku bunga yang lebih rendah, karena pemberi pinjaman tidak membuat komitmen jangka panjang terhadap perusahaan infrastruktur. (Electricity Regulation in the US: A Guide, 2011)

Gambar-1 berikut, menjelaskan tentang resiko dan rate of return terhadap Debt dan Equity. Perusahaan meningkatkan uang untuk investasi dengan menerbitkan surat berharga. Sekuritas yang berbeda memiliki klaim yang berbeda pada laba perusahaan, demikian pula terhadap asetnya. Debt memiliki klaim senior (paling awal) pada sebagian tertentu dari laba, sedangkan Common Equity memilik klaim yang paling junior (mendapat apa yang tersisa setelah orang lain telah dibayar). Oleh karena Equity menanggung risiko lebih tinggi, maka pemegang saham menuntut rate of return yang lebih tinggi dari pada Debt (Edison Electric Institute, 2005)
Menurut Electricity Regulation in the US: A Guide 2011, struktur permodalan perusahaan listrik terdiri dari berbagai sumber pendanaan yang beragam yaitu: common equity, preferred equity, long-term debt, and short-term debt. Karena semua sumber pendanaan memiliki rate of return yang berbeda, maka penggunaan sumber dana campuran ini sangat mempengaruhi keseluruhan WACC (weighted average rate of return). Selain itu, karena perusahaan dikenai pajak penghasilan atas return on equity, dan memperoleh pemotongan pajak penghasilan untuk pembayaran bunga hutang, maka makin tinggi proporsi Equity mengakibatkan makin tinggi WACC yang pada akhirnya  tarif penjualan listrik ke konsumen menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu, Peraturan Komisi terhadap struktur modal merupakan elemen penting dalam perhitungan revenue requirement dari perusahaan listrik.
Secara umum, perusahaan istrik di Amerika Serikat memiliki debt antara 40% -60%, dan equity sekitar 40%-60%. Tidak ada kepastian yang benar terhadap level of equity di Canada, namun perkiraan  equity ratio disana adalah sekitar 30%-35%, yang mencerminkan kepercayaan investor yang lebih tinggi dalam kepastian pendapatan perusahaan listrik, sehingga perusahaan listrik dapat lebih mudah menarik bond investors  dan menggunakan cost of debt yang lebih rendah dalam rangka menaikkan jumlah modal dari persentase debt yang lebih tinggi. Struktur modal yang disetujui oleh komisi sering berbeda dari struktur modal yang sebenarnya dimiliki perusahaan listrik, terutama bila perusahaan memiliki Equity yang berlebihan dalam struktur modal. Dalam kasus ini, versi yang disetujui oleh komisi disebut disebut sebagai hypothetical or imputed capital structure (Electricity Regulation in the US: A Guide, 2011)

Robert H, Loeffler, Morrison & Foerster LLP, 2004 menyatakan, perusahaan-perusahaan biasanya menggunakan Debt Capital dalam jumlah yang  besar untuk membangun proyek pembangunan jaringan pipa gas bumi di Amerika Serikat. Melihat kembali pendanaan proyek pipa gas bumi yang telah disahkan oleh Federal Energy Regulatory Commission (FERC) dalam beberapa tahun terakhir, kita dapat melihat bahwa proyek-proyek tersebut telah menggunakan Debt Capital sebesar 70% sampai 80% dari total biaya konstruksi mereka. Dengan demikian, komponen Debt pada struktur modal mereka akan menjadi 70% sampai 80%. Konsekuensi praktis memiliki sebegitu banyak Debt dalam struktur modal mengakibatkan tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa yang ditetapkan oleh FERC menjadi lebih rendah. Mengapa demikian, karena Cost of Debt selalu lebih rendah dari Cost of Equity. Data terakhir saat ini Cost of Debt rata-rata untuk pembangunan jaringan pipa gas bumi adalah sekitar 8%, sedangkan Cost of Equity adalah sekitar 13% sampai 14%.

Di masa lalu, jika perusahaan pengangkutan gas bumi melalui pipa mengusulkan struktur modal dengan 100% Equity dan tidak menggunakan Debt (atau Equity Ratio yang sangat tinggi), staf FERC sering mengusulkan penggunaan a hypothetical capital structure dengan menurunkan proporsi komponen Equity dan menaikkan proporsi komponen Debt. Kami melakukan ini karena tarif yang dibayarkan oleh para pengguna pipa gas bumi (shippers) menjadi lebih mahal untuk investasi pipa gas bumi yang dibiayai dengan Equity. (Federal Energy Regulatory Commission, United State of America, 1999)

Untuk jaringan pipa gas bumi baru yang telah teridentifikasi bahwa mereka akan menggunakan Debt untuk membiayai investasi mereka, tapi belum benar-benar melakukan  hutang, kita menghitung Cost of Debt berdasarkan proyeksi, atau data histori Cost of Debt terbaru seperti rata-rata historikal Baa dari obligasi perusahaan jaringan pipa gas (diperoleh dari Moody's Bond Survey), yang merupakan peringkat yang paling umum untuk perusahaan ipengangkutan gas bumi melalui pipa. Kami juga menggunakan Moody’s untuk menghitung Cost of Debt apabila kita memutuskan penggunaan a hypothetical capital structure. (Federal Energy Regulatory Commission, United State of America, 1999)

Kasus penentuan hypothetical capital structure dari suatu investasi yang menggunakan dana 100% Ekuitas dilaporkan oleh Energy Law Jornal, Vol 8, 1987, sebagai berikut: SPPL (Southern Pacific Pipe Line Inc) menyatakan kepada FERC bahwa pembangunan pipa gas SPPL dibiayai sepenuhnya (100%) dengan dana Ekuitas oleh perusahaan induknya. Meskipun perusahaan induk memiliki hutang (Debt) dalam struktur modalnya, SPPL mengharapkan agar struktur modal perusahaan induk tersebut tidak digunakan oleh FERC sebagai acuan struktur modal untuk menentukan Tarif pengangkutan gas pada pipa gas bumi milik SPPL tersebut. FERC berpendapat bahwa penggunaan 100% Ekuitas adalah tidak masuk akal dan Tarif yang akan ditetapkan akan menjadi terlalu mahal bagi para shippers. FERC menyatakan bahwa struktur modal yang pantas dipakai adalah sesuai dengan struktur modal perusahaan induk SPPL (Santa Fe Southern Pasific Corporation) yaitu dengan Equity Ratio sebesar 78% (tujuh puluh delapan persen). Bahkan beberapa anggota FERC menyatakan bahwa hypothetical capital structure yang pantas adalah 60% (enam puluh persen) Ekuitas.

Dari kutipan-kutipan pernyataan komisi regulasi listrik dan gas bumi di Amerika Serikat dan Kanada sebagaimana telah disampaikan di atas, memberikan pengetahuan kepada kita, meskipun negara-negara tersebut dikenal sebagai negara liberal yang kapitalistik, ternyata justru lebih mementingkan kepentingan publik dari pada kepentingan pemilik capital atau perusahaan, yaitu dengan membatasi penggunaan Equiy agar tarif pengangkutan gas bumi bisa menjadi lebih rendah.

Point penting yang dapat diperoleh dari kutipan-kutipan di atas adalah, jika suatu perusahaan pengangkutan gas bumi melalui pipa dan juga perusahaan jaringan listrik, menggunakan dana 100% (serratus persen) Ekuitas, maka baik FERC maupun regulator listrik di Amerika Serikat, akan menggunakan suatu hypothetical capital structure dalam menentukan harga listrik maupun tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa di Amerika Serikat

Hal ini seharusnya juga diaplikasikan di Indonesia sebab secara konstitusional keberpihakan kepada publik telah dinyatakan di dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar Tahun 1945.

Demikian juga sesuai dengan UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang dinyatakan dalam konsideran “Menimbang huruf (e)” diamanatkan bahawa peraturan perundang-undangan tentang pertambangan minyak dan gas bumi harus dapat menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang efisien, maka pembatasan Ekuitas dalam kegiatan usaha pengangkutan Gas Bumi perlu diatur di dalam Peraturan BPH Migas No.8 Tahun 2013 tentang Penerapan Tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa.

Untuk lebih jelas melihat betapa pentingnya pembatasan Ekuitas terkait dengan efisiensi biaya investasi, Tabel-1 dan Tabel-2 berikut, menunjukkan perbandingan antara bunga bank dan cost of equity di Indonesia lima tahun terakhir dalam mata uang USD.


































Mencermati Tabel-1 dan Tabel-2, terlihat bahwa Cost of Equity di Indonesia besarnya lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan suku Bunga Pinjaman Investasi dari Bank Persero.

BPH Migas, sebagi regulator yang diberi kewenangan oleh Undang-undang untuk mengatur kegiatan usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa, tentu harus menyadari bahwa pembatasan Ekuitas perlu dilakukan dalam upaya mewujudkan kegiatan usaha pengangkutan tersebut menjadi lebih efisien.

Untuk memperjelas pengaruh Ekuitas terhadap Tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa, alangkah baiknya jika diterangkan melalui sebuah studi kasus, sebagai berikut.

Sebuah pipa transmsi gas bumi membutuhkan biaya investasi sebesar USD 160 juta. Pipa transmisi gas bumi ini, akan mengangkut gas bumi dari sumber gas ke konsumen dengan jumlah aliran sebesar 100 MMscfd.

Dalam studi kasus ini, Tarif pengangkutan gas bumi pada pipa akan dihitung berdasarkan beberapa skenario penggunaan Equity Capital dan Debt Capital yang berbeda-beda. Selain itu, dalam menentukan WACC (Weighted Average Cost of Capital) dan IRR (Internal Rate of Return), kita akan menggunakan data Cost of Debt dan Cost of Equity Tahun 2014.

Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut di atas, maka hasil perhitungan besaran Tarif dengan berbagai scenario variasi Ekuitas, ditunjukkan pada  Tabel-3. Dari tabel tersebut terlihat  bahwa makin besar porsi Ekuitas makin mahal besaran Tarif-nya. Sebagai tambahan, Tabel-4 dijelaskan contoh rincian perhitungan untuk skenario-8.

Mencermati Tabel-3 tersebut, diperoleh gambaran bahwa penggunaan Ekuitas yang berlebihan mengakibatkan Tarif menjadi mahal. Sebagai contoh, penggunaan Ekuitas penuh 100% menghasilkan Tarif sebesar USD 1.129/Mscf, sedangkan apabila hanya mengunakan Ekuitas sebesar 30% maka akan terjadi penurunan tariff sebesar USD 0.206/MMscf menjadi USD 0.923/Mscf.
























Kesimpulan

Berdasarkan hasil simulasi di atas, maka sudah sepantasnya pembatasan Ekuitas perlu diatur di dalam Peraturan BPH Migas No.8  Tahun 2013 untuk mewujudkan kegiatan usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa yang lebih efisien, dan memberikan kesempatan kepada sumber dana eksternal seperti Bank untuk ikut berpartisipasi lebih aktif dalam penyediaan dana untuk pembangunan infrastruktur jaringan pipa gas bumi nasional. Dengan demikkian fungsi BPH Migas untuk menciptakan efisiensi kegiatan usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa. Semoga.....